KONSEP DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BAB I
KONSEP DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan dalam bahasa Latin disebutkan “civis”, selanjutnya dari kata “civis”
ini dalam bahasa Inggris timbul kata “civic” artinya mengenai Warga Negara atau
Kewarganegaraan. Dari kata “civic” lahir kata “civics”, ilmu Kewarganegaraan dan civic
education, Pendidikan Kewarganegaraan.
Menurut Azra (2000), Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang
cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, Zamroni (2001) berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah
pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir
kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi
baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hakhak warga masyarakat.
Pengertian lain didefinisikan oleh Merphin Panjaitan (1998), bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi
muda menjadi Warga Negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan
yang diagonal. Sementara Soedijarto (1996) mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi
Warga Negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang
demokratis.
Dari definisi tersebut, semakin mempertegas pengertian civic education (Pendidikan
Kewarganegaraan) karena bahannya meliputi pengaruh positif dari pendidikan di sekolah,
pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar sekolah. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan tentang masalah
kebangsaan, Kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan
prinsip-prinsip pendidikan demokratis dan humanis.
B. Pedidikan Kewarganegaraan Persekolahan
Secara historis, Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan (school civic education) di
Indonesia mengalami fluktuasi terutama dalam penamaan dan konten materi. Pertama kali
muncul dengan nama Kewarganegaraan (1957), kemudian secara berturut-turut berubah
menjadi Civics (1961), Pendidikan Kewargaan Negara (1968), Pendidikan Moral
Pancasila (1975), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994), Kewarganegaraan
(Uji Coba Kurikulum 2004) dan terakhir dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan
(2006).
Dalam Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana tertuang dalam
Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan
Warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya
untuk menjadi Warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran ini bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau
tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
C. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kedudukan yang cukup kuat, hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang
Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk para mahasiswa menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini
berarti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis
dalam pembentukan nation and character building.
Secara historis, awal mulai dilaksanakannya Pendidikan Kewarganegaraan pada
perguruan tinggi di Indonesia bertujuan untuk dapat melaksanakan Undang-Undang No.
29 Tahun 1954 tentang Sistem Pertahanan Negara. Undang-Undang ini disusun
berdasarkan pengalaman masa perang kemerdekaan, pemberontakan dalam negeri serta
persiapan merebut Irian Barat. Oleh karena itu dibuat program wajib latih bagi sivitas
akademika di perguruan tinggi, yaitu Latihan Kemiliteran Dosen dan Latihan Kemiliteran
Mahasiswa (LKM), dan Pendidikan Pendahuluan Pertahanan Rakyat yang dikenal sebagai
P3R bagi SD, SLP dan SLA.
Dalam perkembangannya, peminat LKM makin besar apalagi setelah diperkenalkan
program Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) yang menitikberatkan pada pendidikan fisik
untuk bela negara dalam rangka ketahanan nasional. Selanjutnya dibentuk Resimen
Mahasiswa (Menwa) yang keanggotaanya bersifat individu dan tidak terkait dengan
organisasi perguruan tinggi. Karena Menwa merupakan bagian dari pertahanan sipil,
pembinaannya dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Departemen
Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Dalam perjalanan selanjutnya, Menwa
diputuskan ada pada setiap perguruan tinggi (sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang
bersifat sukarela), sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) turut
ikut membina. Dalam pada itu, bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam Menwa
diberikan matakuliah Pendidikan Kewiraan yang bersifat wajib berdasarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menhankam dan Mendikbud dan berlaku efektif sejak tahun
1974.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia dinyatakan sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban Warga Negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam
upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara
sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional (Pasal 18).
2. Pendidikan pendahuluan bela negara wajib diikuti oleh setiap Warga Negara dan
dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
a. Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan
Pramuka.
b. Tahap lanjutan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi.
(Pasal 19 ayat 2).
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tersebut,
Pendidikan Kewiraan didudukkan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN)
bagi mahasiswa, sedangkan bagi siswa pada pendidikan dasar dan menengah mereka
tergabung dalam gerakan Pramuka.
Pada tanggal 1 Februari 1985, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan
Menhankam yang menyatakan bahwa Pendidikan Kewiraan dimaksudkan ke dalam
kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada semua perguruan tinggi. Dan sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dinyatatakan bahwa Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam
Pendidikan Kewarganegaraan (Penjelasan Pasal 39 ayat 2).
Kurikulum mata kuliah ini
meliputi: (1) pengetahuan dan hubungan antar Warga Negara dan hubungan Warga
Negara dengan negara, serta (2) Pendidikan Kewiraan/PPBN tahap lanjut, agar mahasiswa
menjadi Warga Negara yang handal.
Apa sebenarnya Pendidikan Kewiraan itu? Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) merumuskan pengertian Pendidikan Kewiraan sebagai sebagai usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian
untuk berkorban membela bangsa dan tanah air Indonesia (Lemhannas, 1999). Pendidikan
Kewiraan dimaksudkan untuk memperluas cakrawala berfikir mahasiswa sebagai Warga
Negara Indonesia sekaligus sebagai pejuang bangsa dalam usaha menciptakan serta
meningkatkan kesejahteraan dan keamanan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara demi terwujudnya aspirasi perjuangan nasional dengan tujuan untuk
memupuk kesadaran bela negara dan berfikir komprehensif integral (terpadu) di kalangan
mahasiswa dalam rangka ketahanan nasional.
Pada tahun 2000-an, substansi mata kuliah Pendidikan Kewiraan sebagai pendidikan
pendahuluan bela negara direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/2000 tentang
Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi. Perubahan ini dilakukan karena mata kuliah Pendidikan Kewiraan terlalu condong
atau lebih berorientasi pada aspek bela negara dalam konteks memenuhi kebutuhan
pertahanan. Sebagaimana penjelasan Soemiarno, bahwa muatan tentang pengetahuan dan
kemampuan hubungan Warga Negara dengan negara agak sulit diformulasikan sehingga
meskipun dengan nomenklatur baru, muatannya masih lebih menitikberatkan pada
Pendidikan Kewiraan. Dalam analisis Cipto (2002) metode pengajaran yang diterapkan
dalam Pendidikan Kewiraan lebih bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh aspek
kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku berlum tersentuh.
Tukiran (2009) memerinci kekurang-berhasilan Pendidikan Kewiraan yang
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan Kewiraan tidak
secara terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada
pendidikan demokrasi dan Kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat
pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan normatif. Kedua, kalaupun materi-materi
yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan demokrasi dan Pendidikan
Kewarganegaan, potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dan pembelajarannya
bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek
itu lebih bersifat teoretis daripada praktis.
Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan
keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen
Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Adapun Misi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah membantu
mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebanggaan dan cinta anah air dalam menguasai,
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa
tanggung jawab.
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006, tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan mencakup:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yaitu untuk
memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai
hubungan antara Warga Negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara agar menjadi Warga Negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
2. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara
santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai Warga Negara Republik Indonesia
terdidik dan bertanggung jawab. Di samping itu juga tujuan khusus yang lain yaitu:
a. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya
dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila,
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
b. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
c. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
perjuangan, cinta tanah air serta rela berkorban bagi nusa, bangsa dan negara.
3. Kompetensi (Civic Competencies)
a. Mahasiswa mampu menjadi Warga Negara yang memiliki komitmen (committed)
terhadap nilai-nilai HAM dan demokrasi.
b. Mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya menghentikan budaya kekerasan
dengan cara damai.
c. Mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik dalam
masyarakat yang dilandasi dengan sistem nilai-nilai universal.
d. Mahasiswa memiliki pengertian internasional sehingga mampu menjadi Warga
Negara yang kosmopolit.
e. Mahasiswa mampu berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan HAM dan
demokrasi.
f. Mahasiswa mampu memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan kebijakan
publik (public policy)
D. Eksistensi Manusia
Dalam pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan, manusia sebagai subjek sekaligus
objek pembelajaran yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda.
Pengalaman belajar (learning experience) yang diterima mahasiswa menjadi lebih
bermakna dan menjadikan pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan
dalam memori yang sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah
demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (civil society).
Di samping itu, pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik membuat
mahasiswa menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia yang sadar akan
tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran diri yang tercipta dari
hasil pembelajaran tersebut mendorong mahasiswa untuk melakukan sesuatu (learning to
do) yang didasari oleh pengetahuan yang dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh
mahasiswa dimaksudkan dalam rangka pembelajaran untuk membangun kehidupan
bersama (learning to live together). Kehidupan bersama tersebut dibangun atas dasar
kesadaran akan realitas keragaman dan saling memerlukan.
Comments
Post a Comment