NEGARA, WARGA NEGARA, DAN KONSTITUSI
BAB III
NEGARA, WARGA NEGARA, DAN KONSTITUSI
A. Negara
1. Pengertian Negara
Negara berasal dari kata: staat, state, yang diambil dari kata bahasa Latin status
atau statum, yang berarti keadaan yang tetap dan tegak atau sesuatu yang memiliki
sifat tetap dan tegak. Secara termonologi, negara dapat diartikan sebagai organisasi
tertinggi di atara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu,
hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemrintahan yang berdaulat.
Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles, konsep negara telah muncul dimulai 400
tahun sebelum masehi. Adanya negara di dalam masyarakat itu didorong oleh dua hal,
yaitu manusia sebagai makhluk sosial (animal social/homo socius) dan manusia
sebagai makhluk politik (animal politicum/zoon politicon). Sedangkan menurut
Thomas Hobbes, adanya negara itu diperlukan karena negara merupakan tempat
berlindung bagi individu, kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan
individu, kelompok, dan masyarakat, maupun penguasa yang kuat (otoriter), sebab
manusia dengan manusia lainnya memiliki sifat seperti serigala, serigala bagi manusia
lainnya (homo homini lupus).
Dalam pengertian yang sederhana, negara dapat dipahami sebagai suatu organisasi
kekuasan dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama
mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang
mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia.
2. Unsur-unsur Negara
Dari beberapa pengertian negara sebagaimana tersebut di atas, kita dapat
mengidentifikasi beberapa unsur negara. Secara teoretis, unsur negara dapat dibedakan
menjadi unsur konstitutif dan unsur deklaratif.
Pertama, unsur konstitutif adalah unsur pembentuk yang harus dipenuhi agar
terbentuk negara. Unsur ini terdiri atas:
a. Wilayah, yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat
tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara.
Wilayah negara mencakup darat, laut, dan udara.
b. Rakyat, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada
kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
c. Pemerintahan yang berdaulat, yaitu adanya penyelenggara negara yang memiliki
kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah
tersebut memiliki kedaulatan baik ke dalam mau pun keluar. Kedaulatan ke dalam
berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh rakyatnya. Kedaulatan keluar
berarti negara mampu mempertahankan diri dari serangan negara lain.
Kedua, unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan, bukan mutlak
harus dipenuhi. Unsur ini terdiri atas:
a. Tujuan negara
b. Undang Undang Dasar
c. Pengakuan dari negara lain, baik secara “de jure” maupun “de facto.” Sebagai
contoh, Pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada
22 Maret 1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai negara pertama yang
mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq,
Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut,
Liga Arab juga berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan
sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua
negara anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka
yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia
merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
d. Masuknya negara tersebut ke dalam PBB. Indonesia bergabung ke dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 28 September 1950. Karena adanya konflik
antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk masuk Dewan
Keamanan PBB, Soekarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari
1965. Pada saat kepemimpinan Suharto pada tahun 1966, Indonesia kembali
meminta masuk keanggotaan PBB melalui pesan yang disampaikan kepada
Sekretaris Jendral
.
3. Sifat-sifat Negara
Negara memiliki sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang
dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat pada asosiasi
atau organisasi lainnya. Secara umum, setiap negara memiliki sifat memaksa,
memonopoli, dan mencakup semua (Budiardjo, 1998).
a. Memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian
penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara
memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan kekuasaannya untuk
menyelenggarakan ketertiban, baik dengan memakai kekerasan fisik maupun
melalui jalur hukum (legal). Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan
sebagainya.
b. Memonopoli, artinya negara memiliki hak menetapkan tujuan bersama masyarakat.
Dalam hal ini, negara memiliki hak untuk melarang sesuatu yang bertentangan dan
menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat.
c. Mencakup semua (all encompassing, all embracing, totaliter), artinya semua
peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
4. Fungsi dan Tujuan Negara
Fungsi negara dapat dikatakan juga sebagai tugas negara. Negara sebagai
organisasi kekuasaan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Beberapa ahli
merumuskan fungsi negara dalam sudut pandang yang berbeda. John Locke,
membedakan fungsi negara menjadi tiga fungsi, yaitu: Fungsi legislatif (membuat
peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan peraturan), dan fungsi federatif (mengurusi
urusan luar negeri dan urusan perang dan damai).
Montesquieu juga mengemukakan tiga fungsi negara, yang populer dengan nama
Trias Politica, yaitu: fungsi legislatif (yaitu membuat undang-undang), fungsi
eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan fungsi yudikatif (untuk mengawasi agar
semua peraturan ditaati atau fungsi mengadili).
Menurut Miriam Budiarjdjo, pada dasarnya fungsi pokok negara terbagi menjadi
empat bagian, yaitu:
a. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam fungsinya ini, dapat
dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dijalankan
dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang.
c. Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
d. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan fungsi negara sebagai berikut:
a. Pertahanan dan keamanan: negara melindungi rakyat, wilayah dan pemerintahan
dari ancaman, tantangan, hambatan, gangguan.
b. Pengaturan dan ketertiban: membuat undang-undang, peraturan pemerintah.
c. Kesejahteraan dan kemakmuran: mengeksplorasi sumber daya alam dan dumber
daya manusia untuk kesejahteraan dan kemakmuran.
d. Keadilan menurut hak dan kewajiban: menciptakan dan menegakan hukum
dengan tegas dan tanpa pilih kasih.
B. Kewarganegaraan
1. Pengertian Kewarganegaraan
Istilah Warga Negara lebih sesuai dengan kedudukannya seorang merdeka
dibandingkan dengan seorang hamba atau kawula negara, karena Warga Negara
mengandung arti anggota atau atau warga dari suatau negara, yaitu peserta yang
didirikan dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar
tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama.
Warga Negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu
dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara Warga Negara dengan
negara, Warga Negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan
sebaliknya Warga Negara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan
dilindungi oleh negara.
Menurut Hikam, Warga Negara merupakan terjemahan dari citizenship adalah
anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Secara singkat,
Koerniatmanto, mendefinisikan Warga Negara dengan anggota negara. Sebagai
anggota negara, seorang Warga Negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap
negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
terhadap negaranya.
Dalam pengertian Warga Negara secara umum dinyatakan bahwa Warga Negara
merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya.
Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap
negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban
Warga Negara terhadap negaranya merupakan sesuatu yang niscaya ada.
Dalam konteks Indonesia, hak Warga Negara terhadap negaranya telah diatur
dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hakhak umum yang digariskan dalam UUD 1945. di antara hak-hak Warga Negara yang
dijamin dalam UUD adalah hak asasi manusia yang rumusan lengkapnya tertuang
dalam pasal 26, 27, 28 dan 30, 31, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 26 ayat (1) yang menjadi Warga Negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang
sebagai Warga Negara. Pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan undang-undang.
b. Pasal 27, ayat (1) Segala Warga Negara bersamaan dengan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat (2), Tiap-tiap Warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
c. Pasal 28, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
d. Pasal 30 ayat (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaa negara. dan ayat (2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan
undang-undang.
e. Pasal 31 ayat (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.
Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, yang
dimaksud Warga Negara Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum
Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga
Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu Warga Negara asing; ketentuan ini berakibat anak
berKewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu Kewarganegaraannya.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara asing
dan ibu Warga Negara Indonesia; ketentuan ini berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu Kewarganegaraannya.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai Kewarganegaraan atau hukum negara
asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara asing
yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun
atau belum kawin;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status Kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak mempunyai Kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah
dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak
tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
2. Asas-asas Kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas
Kewarganegaraan, masing-masing adalah ius soli, ius sanguinis, dan asas campuran.
Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius
sanguinis (Asshiddiqie, 2006).
Asas ius soli (asas kedaerahan) ialah bahwa kewarganegaraan seseorang
ditentukkan menurut tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus Warga
Negara dari Negara A, karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sedangkan asas ius
sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang
terkandung dalam asas kedua ini, Kewarganegaraan ditentukkan dari garis keturunan
orang yang bersangkutan. Seseorang adalah Warga Negara A, karena orang tuanya
adalah Warga Negara A.
Pada saat sekarang, dimana hubungan antarnegara berkembang semakin mudah
dan terbuka, dengan sarana transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah
sedemikian majunya, tidak sulit bagi setiap orang untuk bepergian ke mana saja. Oleh
karena itu, banyak terjadi bahwa seseorang Warga Negara dari Negara A berdomisili
di negara B. Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia
berdomisili. Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, maka
akibatnya anak tersebut menjadi Warga Negara dari negara tempat domisilinya itu,
dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena
alasan-alasan itulah maka dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan
penerapan asas ius soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis.
Dianutnya asas ius sanguinis ini besar manfaatnya bagi negara-negara yang
berdampingan dengan negara lain (neighboring countries) yang dibatasi oleh laut
seperti negara-negara Eropa Kontinental. Di negara-negara demikaian ini, setiap orang
dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat tinggal kapan saja menurut kebutuhan.
Dengan asas ius sanguinis, anak-anak yang dilahirkan di negara lain akan tetap
menjadi Warga Negara dari negara asal orang tuanya. Hubungan antara negara dan
Warga Negaranya yang baru lahir tidak terputus selama orang tuanya masih tetap
menganut Kewarganegaraan dari negara asalnya.
Sebaliknya, bagi negara-negara yang sebagian terbesar penduduknya berasal dari
kaum imigran, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, untuk tahap pertama
tentu akan terasa lebih menguntungkan apabila menganut apabila menganut asas ius
soli ini, bukan asas ius sangunis. Dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di
negara-negara tersebut akan menjadi putuslah hubungannya dengan negara asal orang
tuanya. Oleh karena itu, Amerika Serikat menganut asas ius soli ini, sehingga banyak
mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Amerika Serikat, apabila melahirkan anak,
maka anaknya otomatis mendapatkan status sebagai Warga Negara Amerika Serikat.
Sehubunga denga kedua asas tersebut, setiap negara bebas memilih asas mana
yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan Kewarganegaraan untuk menentukan
siapa saja yang diterima sebagai Warga Negara dan siapa yang bukan Warga Negara,
Setiap negara mempunyai kepentingan sendiri-sendiri berdasarkan latar belakang
sejarah yang tersendiri pula, sehingga tidak semua negara menganggap bahwa asas
yang satu lebih baik daripada asas yang lain. Dapat saja terjadi, di suatu negara, yang
dinilai lebih menguntungkan adalah asas ius soli, tetapi di negara yang lain justru asas
ius sanguinis yang dianggap lebih menguntungkan. Bahkan dalam perkembangan di
kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai
negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus
diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan
double-citizenship atau dwi-Kewarganegaraan (bipatride).
Namun demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru menganut keduaduanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang
bersangkutan. Misalnya, India dan Pakistan temasuk negara yang sangat menikmati
kebijakan yang mereka terapkan dengan sistem dwi-Kewarganegaraan. Sistem yang
terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang bersifat
campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bripatride. Dalam
hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi
Kewarganegaraan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, asas-asas yang dipakai dalam
Kewarganegaraan Indonesia meliputi:
a. Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan Kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran;
b. Asas ius soli secara terbatas, yaitu asas yang menentukan Kewarganegaraan
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diperuntukkan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengana ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
c. Asas Kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu
Kewarganegaraan bagi setiap orang;
d. Asas Kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan
Kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.
3. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak Warga Negara adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh Warga Negara dari
negaranya. Hak Warga Negara dapat juga disebut sebagai hak konstitusional Warga
Negara (citizen’s constitutional right), yaitu hak Warga Negara yang secara
konstitusional diatur dalam konstitusi atau perundang-undangan. Sedangkan
kewajiban Warga Negara adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh Warga Negara.
Kewajiban Warga Negara ini juga ditetapkan oleh konstitusi atau perundangundangan. Lalu apa saja hak Warga Negara Indonesia itu? Dalam ketentuan UUD
1945 dirumuskan hak-hak yang dimiliki Warga Negara Indonesia sebagai berikut:
a. Hak memperoleh kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan:
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya” (Pasal 27 ayat 1).
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak: “Tiap Warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” (Pasal 27 ayat 2).
c. Hak dalam pembelaan negara: “Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara.” (Pasal 27 ayat 3).
d. Hak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran: “Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.” (Pasal 28).
e. Hak kemerdekaan memeluk agama: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.” (Pasal 29 ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 29 ayat 2).
f. Hak mendapatkan pendidikan: “Setiap Warga Negara berhak mendapat
pendidikan.” (Pasal 31 ayat 1).
g. Hak untuk mendapatkan Kesejahteraan sosial: Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5):
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, effisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
h. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara.” (Pasal 34 ayat 1)
Disamping mengatur tentang hak-hak yang dimiliki setiap Warga Negara,
ketentuan UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban Warga Negara Indonesia
sebagai berikut:
a. Wajib menaati hukum dan pemerintahan: “Segala Warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (Pasal 27 ayat 1).
b. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara: “Setiap Warga Negara berhak
dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” (Pasal 27 ayat 3).
c. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara: “Tiap-tiap Warga
Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.” (Pasal 30 ayat 1).
d. Wajib mengikuti pendidikan dasar: “Setiap Warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” (Pasal 31 ayat 2).
4. Hubungan Negara dengan Warga Negara
Bentuk hubungan Warga Negara dan negara, antara lain:
a. Hubungan yang bersifat emosional: wujud hubungan wargangera dengan negara di
diperlukan pembekalan berupa nilai-nilai yang memungkinkan tumbuh pada
mahasiswa yang antara lain; bangga terhadap negara bangsanya, cinta negara
bangsanya, rela berkorban untuk negara bangsanya.
b. Hubungan yang bersifat formal: hubungan di perlukan seperangkat pengetahuan,
antara lain; ilmu ketata negaraan, sejarah perjuangan bangsa, administrasi negara
dan politik.
c. Hubungan yang bersifta fungsional: wujudnya lebih banyak menggambarkan
peranan dan fungsi Warga Negara dalam masyarakat. Berbangsa dan bernegara
serta bagaimana partisipasi Warga Negara dalam kehidupan bernegara.
5. Hubungan Negara dan Agama
Dalam hubungan negara dan agama dapat dilihat beberapa paham sebagai berikut:
a. Paham Teokrasi bahwa negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan di
jalankan menurut firman-firman Tuhan.
b. Paham Sekuler bahwa norma hukum ditetapkan berdasarkan kesepakatanbersama
dan tidak berdsarkan firman-firman Tuhan
c. Paham Komunisme yaitu dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat negara. dan agama sebagai sesuatu yang terpisah dari suatu negara.
C. Konstitusi
1. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Kata Konstitusi yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer”
(Perancis) yang berarti membentuk. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “grondwet,” “grond” berarti dasar, dan
“wet” berarti undang-undang. Jadi grondwet sama dengan undang-undang dasar.
Namun dalam kepustakaan Belanda dikenal pula istilah “constitutie” yang artinya juga
undang-undang dasar. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia juga dijumpai istilah
Hukum Dasar. Hukum memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan
undang-undang. Kaidah hukum bisa tertulis dan bisa tidak tertulis, sedangkan undangundang menunjuk pada aturan hukum yang tertulis.
35
Atas dasar pemahaman tersebut, konstitusi disamakan pengertiannya dengan
hukum dasar, yang berarti sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan undangundang dasar adalah hukum dasar yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu
naskah/dokumen. Dengan demikian undang-undang dasar merupakan bagian dari
konstitusi. Sedangkan di samping undang-undang masih ada bagian lain dari hukum
dasar yakni yang sifatnya tidak tertulis, dan biasa disebut dengan konvensi atau
kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ini merupakan aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara walaupun tidak tertulis.
2. Unsur-unsur Konstitusi
Undang-undang dasar atau konstitusi negara tidak hanya berfungsi membatasi
kekuasaan pemerintah, akan tetapi juga menggambarkan struktur pemerintahan suatu
negara. Menurut Savornin Lohman dalam (Lubis, 1982), ada tiga unsur yang terdapat
dalam konstitusi yaitu:
a. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial),
sehingga menurut pengertian ini, konstitusikonstitusi yang ada merupakan hasil
atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan
pemerintahan yang akan mengatur mereka.
b. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia, berarti
perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan Warga Negara yang sekaligus
penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat
pemerintahannya.
c. Konstitusi sebagai forma regimenis, yaitu kerangka bangunan pemerintahan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Sumantri dalam (Chaidir, 2007), yang
menyatakan bahwa materi muatan konstitusi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan Warga Negara,
b. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar,
c. Pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, dapat dekemukakan bahwa unsurunsur yang terdapat dalam konstitusi modern meliputi ketentuan tentang:
a. Struktur organisasi negara dengan lembaga-lembaga negara di dalamnya
b. Tugas/wewenang masing-masing lembaga negara dan hubungan tatakerja antara
satu lembaga dengan lembaga lainnya
c. Jaminan hak asasi manusia dan Warga Negara.
3. Perubahan Konstitusi
Betapapun sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat konstitusi itu bisa
ketinggalan jaman atau tidak sesuai lagi dengan dinamika dan perkembangan
masyarakat. Karena itulah perubahan atau amandemen konstitusi merupakan sesuatu
hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Yang penting
bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam arti yang
sebenarnya, dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari golongan atau
kelompok tertentu.
Secara teoritik, perubahan undang-undang dasar dapat terjadi melalui berbagai
cara. Strong menyebutkan empat macam cara perubahan terhadap undang-undang
dasar, yaitu:
a. Oleh kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu,
b. Oleh rakyat melalui referendum,
c. Oleh sejumlah negara bagian, khususnya untuk negara serikat,
d. Dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus
dibentuk untuk keperluan perubahan.
Sedangkan Wheare (2010) mengemukakan bahwa perubahan konstitusi dapat
terjadi dengan berbagai cara, yaitu:
a. Perubahan resmi
b. Penafsiran hakim
c. Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Sejak memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang keberadaan UUD
1945, yang sangat berbeda dengan pemikiran yang ada sebelumnya. Secara garis besar
arus pemikiran tersebut dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
a. UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang timbulnya
penafsiran ganda.
b. UUD 1945 membawakan sifat executive heavy, yakni memberikan kekuasaan
yang terlalu besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,
sehingga kekuasaan yang lain yaitu legislatif dan yudikatif seakan-akan
tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif.
c. Sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas di antara sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer, sehingga ada
yang menyebutnya sebagai sistem quasi presidensiil.
d. Perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, agar daerah dapat
mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing-masing.
e. Rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam UUD 1945 dirasa
kurang memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan Warga Negara seiring dengan perkembangan global.
Arus pemikian sebagaimana dikemukakan di atas kemudian mewarnai perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Dengan demikian amandemen terhadap UUD
1945 pada prinsipnya mengarah pada perubahan untuk menjawab persoalan-persoalan
sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan adanya ketentuan pasal UUD 1945 yang dapat menimbulkan penafsiran
ganda, telah dilakukan amandemen dengan menetapkan rumusan baru yang lebih jelas
dan eksplisit. Misalnya masa jabatan presiden, sebelum amandemen dinyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali”. Dalam ketentuan tidak menyebutkan secara tegas dipilih
kembali untuk berapa kali masa jabatan.
Dengan demikian dimaknai bahwa seseorang dapat dipilih menjadi Presiden atau
Wakil Presiden untuk beberapa kali masa jabatan tanpa batas. Dalam amandemen
UUD 1945 dirumuskan secara tegas bahwa presiden hanya dapat dipilih kembali
untuk satu kali masa jabatan, yang berarti bahwa orang yang sama akan dapat
memegang jabatan sebagai presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Terkait dengan sifat executive heavy yang dibawakan oleh UUD 1945, pada
amandemen pertama telah dilakukan perubahan dan penambahan atas pasal 5 (1),
pasal 7, pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 (2) (3), pasal 20, dan pasal
21, yang pada intinya mengatur pembatasan jabatan presiden, mengubah kewenangan
legislatif yang semula di tangan presiden menjadi kewenangan DPR, serta menambah
beberapa substansi yang membatasi kewenangan prseiden (Hidayat, 2002).
Kewenangan-kewenangan tertentu yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri oleh
presiden, setelah amandemen harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan
dari lembaga yang lain, seperti mengangkat duta dan konsul harus dengan
pertimbangan DPR, memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah
Agung, dan memberikan amnesti serta abolisi harus dengan pertimbangan DPR. Hal
itu jelas merupakan pengurangan terhadap kekwenangan presiden.
Berkaitan dengan ketentuan sistem pemerintahan yang tidak tegas antara
presidential dan parlementer, melalui amandemen UUD 1945 ditegaskan sistem
pemerintahan presidential dengan munculnya ketentuan bahwa presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat (pasal 6A [1]). Dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat,
kosekuensinya bahwa presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR. MPR hanya
dapat memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya setelah adanya keputusan
melanggar hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya. Presiden juga tidak bertanggungjawab
kepada DPR baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Presiden dan DPR tidak
dapat saling menjatuhkan. Semua itu merupakan indikasi sistem pemerintahan
presidential.
Menyangkut perlunya kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk mengatur
urusan daerahnya sendiri telah dilakukan amandemen terhadap pasal 18 UUD 1945
dengan menambahkan beberapa ayat serta menambahkan pasal 18 A dan pasal 18 B.
Dengan amandemen tersebut pemerintah daerah diberi kesempatan untuk nenjalankan
otonomi seluasluasnya, adanya penghargaan dari pemerintah pusat atas keragaman
daerah dan kekhususan yang terdapat pada daerah-daerah tertentu, serta pembagian
kekuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sedangkan yang berkait dengan masalah hak asasi manusia sangat jelas tampak
bahwa amandemen terhadap UUD 1945 telah memasukkan cukup banyak rumusanrumusan baru tentang hak asasi manusia dan Warga Negara dengan menambahkan
pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selanjutnya perubahan terhadap UUD dapat
ditelaah dari beberapa segi yaitu menyangkut sistem perubahan dan
prosedur/mekanisme perubahannya, bentuk hukum perubahannya, serta substansi
materi yang diubah (Hidayat, 2002).
Tentang sistem perubahan dan prosedur perubahannya, amandemen terhadap UUD
1945 menggunakan landasan sistem dan prosedur yang ditentukan pasal 37 UUD
1945. Mengenai bentuk hukumnya, secara teoritis dan praktek ketatanegaraan dikenal
adanya pola perubahan yang secara langsung dituangkan dalam teks UUD yang lama
dengan melakukan perubahan terhadap naskah aslinya (model Eropa Kontinental). Di
samping itu ada pola addendum dimana substansi perubahannya dituangkan dalam
suatu naskah yang terpisah dari naskah aslinya, sedangkan naskah asli itu sendiri
dibiarkan tetap dengan rumusan aslinya (model Amerika Serikat). Dilihat dari aspek
itu amandemen terhadap UUD 1945 dapat dikatakan mengikuti model Amerika
Serikat.
4. Peranan Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara
Secara umum dapat dikatakan bahwa konstitusi disusun sebagai pedoman dasar
dalam penyelenggaraan kehidupan negara agar negara berjalan tertib, teratur, dan
tidak terjadi tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah terhadap rakyatnya.
Untuk itu maka dalam konstitusi ditentukan kerangka bangunan suatu negara,
kewenangan pemerintah sebagai pihak yang berkuasa, serta hak-hak asasi Warga
Negara.
Menurut Strong (2008), tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenangwenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Dengan konstitusi tindakan pemerintah yang
sewenang-wenang dapat dicegah karena kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah
telah ditentukan dalam konstitusi dan pemerintah tidak dapat melakukan tindakan
semaunya di luar apa yang telah ditentukan dalam konstitusi tersebut. Di pihak lain,
hak-hak rakyat yang diperintah mendapatkan perlindungan dengan dituangkannya
jaminan hak asasi dalam pasal-pasal konstitusi.
Sedangkan menurut Lord Bryce dalam (Chaidir, 2007), motif yang mendasari
pembentukan konstitusi adalah untuk memberikan landasan dan pedoman dasar bagi
penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara, membatasi tindakan pemerintah agar
tidak bertindak sewenang-wenang, dan memberikan jaminan atas hak asasi bagi
Warga Negara.
Comments
Post a Comment