PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA

 BAB II 

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA 

A. Pentingnya Pendidikan Pancasila

Seluruh Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari, 

mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan 

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing. 

Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang dapat dihubungkan dengan 

tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan 

deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. 

1. Pengetahuan deskriptif menjawab pertanyaan “bagaimana” sehingga bersifat 

mendiskripsikan. 

2. Pengetahuan kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah “mengapa”, 

sehingga mengenai sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa: kausa 

materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa 

efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan). 

3. Pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah “kemana”. 

4. Pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan “apa”, (apa 

sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui 

hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan 

pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau 

secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan 

tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan 

pada sekolah menengah. 





Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk 

memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. 

Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati dan 

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai Warga 

Negara Indonesia, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah 

dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan 

pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.





B. Pancasila sebagai Pengetahuan Ilmiah 

Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, 

bermetode, bersistem, dan bersifat universal. Berobyek terbagi dua yakni objek material  

dan obyek formal. Obyek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga 

pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk 

diselidiki. Sedangkan obyek formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest, point 

of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang 

bersangkutan. 

Bermetode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang 

logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem bermakna 

memiliki kebulatan dan keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang 

yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan 

keseluruhan. Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat obyektif, dalam arti bahwa 

penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju 

atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila 

memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat 

dipelajari secara ilmiah. 

Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga 

memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan 

hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi. 

Pancasila dapat juga diletakkan sebagai obyek studi ilmiah, yakni pendekatan yang 

dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu 

penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan 

dengan segala uraian yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada 

bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala 

yang diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah 

terhadap Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional, dan 

pendekatan filosofis




C. Asal Mula Pancasila 

1. Teori Asal Mula Pancasila

Teori asal mula Pancasila dasar filsafat negara dibedakan: 

a. Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, 

terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya. 

b. Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila 

itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang 

Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan. 

c. Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari 

calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula 

karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian 

mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah 

melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya. 

d. Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan 

Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada 

kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan. 

Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara 

formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 

Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki 

unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah 

bangsaIndonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, 

tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya 

misalnya: 

a. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, buktibuktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran 

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan 

hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan 

sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan 

kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

b. Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan 

sesama manusia, bukti-buktinya misalnya: bangunan padepokan, pondok-pondok, 

semboyan aja dumeh, aja adigang-adigung-adiguna, aja kementhus, aja kemaki, 

aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin 

Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, 

Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan 

sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan 

kemanusiaan; semua mengindikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan 

beradab. 

c. Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, 

sebagai bukti-buktinya misalnya: bangunan candi Borobudur, candi Prambanan, 

dan sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi 

Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, 

semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe 

senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan 

mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumahrumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan 

adanya sifat persatuan. 

d. Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya 

misalnya: bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk 

musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di 

Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro 

Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, 

dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia; 

e. Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia 

dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil 

terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, 

sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja 

Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya, 

penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya. 

Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baikbaik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang 

baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak 

boleh terputus satu dengan yang lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh 

dari luar yang menyebabkan diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret 

dengan nilai budaya. 

2. Asal Mula Pancasila Secara Formal 

BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini memungkinkan 

bangsaIndonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk 

merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. 

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada 

tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di 

Jawa). 

Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 

29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 

Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar 

negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut 

untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan 

yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah 

(pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Jakarta 

Charter atau Piagam Jakarta. 

Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka 

sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini 

ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 

menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut dengan 

piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga 

panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia 

perancang Hukum Dasar yakni: (1) Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. 

Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang; (2) Panitia Pembela Tanah Air dengan 

ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang; (3) Panitia ekonomi dan 

keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota. 

Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil 

Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam 

rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia 

Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia 

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 

1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan 

menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 

sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan 

Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 

Juli 1945 menerima seluruh Rancangan 

Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat 

Piagam Jakarta sebagai mukaddimah. 

Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan 

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas 

badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan: 

a. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada 

tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 

b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 

1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang 

Dasar Negara Republik Indonesia. 

c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. 

Moh. Hatta. 

d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan 

Musyawarah Darurat. 

Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah 

propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga 

tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di 

antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 

1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan 

Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini, maka 

PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian Komite 

Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinanpimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia. 

Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok. 

a. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan 

sebagai dasar negara Republik Indonesia. 

b. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya 

dengan Proklamasi Kemerdekaan. 

c. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum 

berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 

1945. 

Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai 

dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni: 

a. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam 

pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I). 

b. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai 

usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II). 

c. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia 

Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III). 

d. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil 

kesepakatan yang pertama (Rumusan IV). 

e. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan 

pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).  

f. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 

tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI). 

g. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya 

berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII). 

D. Fungsi dan Kedudukan Pancasila

1. Pancasila Sebagai Dasar Negara

Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu 

memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun 

juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam 

fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur 

negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni 

pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang 

merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara 

Republik Indonesia. 

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai 

dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah 

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan 

Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam 

semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah 

seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia 

bersumber pada Pancasila. 

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa 

Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan 

secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai 

dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut 

terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di 

mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran 

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasalpasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 

1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan lainnya, 

seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain 

sebagainya. 





2. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup 

adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan 

rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk 

mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan 

manusia dengan Tuhannya. 

Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara 

dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa 

adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh 

suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di 

dalam sikap hidup sehari-hari. 

Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang 

dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan 

bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hidup yang diyakini kebenarannya 

tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila 

tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, 

Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut 

sebagai cita-cita moral bangsaIndonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian 

memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di 

dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga 

sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam 

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama 

bangsaIndonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila 

merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah 

seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi. 






E. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

1. Hubungan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: bahwa 

rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum 

dalam Pembukaan UUD 1945; bahwa Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan 

berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD 1945 juga sebagai suatu yang bereksistensi 

sendiri karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada 

batang tubuh UUD 1945, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti 

Pembukaan UUD 1945 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, 

tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia. 

Hubungan secara material antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: Proses 

Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru 

kemudian membahas Pembukaan UUD 1945; sidang berikutnya tersusun 

Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD 1945. 

2. Kedudukan Hakiki Pembukaan UUD’45

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting 

bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada Proklamasi 17 

Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. 

Adapun kedudukan hakiki Pembukaan UUD 1945 adalah: 

a. Pembukaaan UUD 1945 memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan 

kemerdekaan yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan 

padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam 

Pembukaan UUD 1945. 

b. Pembukaan UUD 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan 

tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan UUD 1945 merupakan 

pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat 

Indonesia yang luhur. 

c. Pembukaan UUD 1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu 

tujuan negara, bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang 

pembentukan UUD. 

d. Pembukaan UUD 1945 mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat, 

hukum Tuhan dan adanya hukum etis atau hukum moral. Di dalam Pembukaan 

UUD 1945 terdapat unsur-unsur, bentuk-bentuk maupun sifat-sifat yang memungkinkan tertib hukum negara Indonesia mengenal adanya hukum-hukum 

tersebut. Semua unsur hukum itu merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi 

negara dan hukum positif Indonesia (Suhadi, 1998). 

F. Pelaksanaan Pancasila

1. Pemikiran dan Pelaksanaan Pancasila

Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksanaan Pancasila 

terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu 

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan 

prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus  

konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus 

mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal. 

Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat 

digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985) 

menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran 

politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Notonagoro (1974) 

menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif. 

Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas 

permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut 

meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah 

apakah Pancasila itu subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di 

dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang 

perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas 

permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik 

kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis. 

Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, 

Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan 

kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai 

Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan 

tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil 

keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang 

hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD. 

Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur 

politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu 

memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis, 

yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, teologis, maupun filosofis. 

Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan 

keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga 

kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan 

korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan 

bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis 

berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. 

Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan 

merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap 

pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, 

sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau 

tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis. 

Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila 

dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, 

yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 

Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai 

Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, 

eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya 

dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, 

artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap Warga Negara, setiap individu, setiap 

penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro (1974) 

pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena 

sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan 

subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses 

pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan 

keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, 

ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai 

oleh Pancasila. 

Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para 

penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap 

mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang 

kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. 

Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai dasar Negara membawa implikasi 

wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai 

sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif 

membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi 

dari hati nurani atau masyarakat. 

2. Reformasi Pemikiran dan Pelaksanaan Pancasila

Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali keadaan yang 

tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang disalahartikan sebagai 

suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”, penjarahan atau 

“pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan 

agar orang tidak salah mengartikan reformasi, antara lain sebagai berikut. 

a. Reformasi bukan revolusi 

b. Reformasi memerlukan proses  

c. Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan 

d. Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural 

e. Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda 

f. Reformasi memerlukan arah. 

Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara lain: 

Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum, 

ekonomi dan politik; Kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai; Ketiga, 

bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik 

dan saran perubahan yang tidak diperhatikan. 

Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap tatanan 

kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam 

dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi, agenda yang mendesak 

untuk segera direalisasikan antara lain: mengatasi krisis, melaksanakan reformasi, dan 

melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut 

dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk 

dibicarakan. 

Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan euforia 

reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan, antara lain: 

Pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional yang tersisa dan 

diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak. Keyakinan 

ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara 

historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi 

etnis, geografis, maupun agama. Kedua, secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar 

Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh 

argumentasi bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut 

mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok 

pikiran Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila. 

Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak satunya 

antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan 

reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu kesatuan antara pemikiran dan 

pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila 

sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila 

dijadikan mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak 

sepaham. 





Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting bagi 

upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan 

pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih konkret. Kedua, 

mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi 

kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan 

subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan 

egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran 

pluralisme, baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama. 

Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik kenegaraan dan 

dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara 

lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau 

perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan 

rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar 

dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di 

luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan 

tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum 

mendesak untuk diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan 

mengoptimalkan lembaga judicial review yang memiliki independensi untuk menguji 

secara substansial dan prosedural suatu produk hukum. Kedua, Kelemahan yang 

terletak pada para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan Kolusi, Korupsi 

dan Nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan 

menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya. 

Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik tajam di era reformasi, sehingga 

keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap MPR No. 

II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran tentang sosialisasi Pancasila itu 

antara lain: menghindari jargon-jargon yang tidak berakar dari realitas konkret dan 

hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti, sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian 

Pancasila”, slogan bahwa masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal 

ika, padahal dalam kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur, 

melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari 

pemaknaan Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada 

pemaknaan yang lebih operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai 

kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan Negara Indonesia harus mengesakan 

Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil dan beradab, mempersatukan 

Indonesia, memimpin rakyat dengan hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses  

permusyawaratan perwakilan, menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Sosialisasi diharapkan juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan 

bangsa, bukan membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran 

P-4, sehingga sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif. 





G. Pancasila dan Permasalahan Aktual

1. Pancasila dan Permasalahan Sara

Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal 

misalnya antara si kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara 

mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara itu konflik horisontal 

ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama, antar suku, atar ras, antar golongan 

dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik. 

Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara 

yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, 

agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang 

sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan 

sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi

bangsa. 

Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, 

heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang 

mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal. 

Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila 

secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia”. Kedua, Penjelasan UUD 1945 

tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok pikiran pertama. 

Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hak-hak 

menjadi Warga Negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang 

berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam 

penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, 

(2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan 

penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan 

Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat 

disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat 

menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas 

pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain. Justru pluralitas itu 

merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa. 





 

Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran 

dalam rangka menyelesaikan masalah Sara ini antara lain: Pertama, Pancasila 

merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba 

merangkumnya dalam satu wadah ke-Indonesiaan. Kesatuan tidak boleh 

menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan 

persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan 

perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau 

perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. 

Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai 

keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh 

masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan 

sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan 

kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat 





2. Pancasila dan Permasalahan HAM

Hak Asasi Manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah hak yang melekat 

pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya 

manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma 

yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara 

langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, 1995). 

Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga 

masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: 

Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena: (1) topik 

HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan 

dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan 

pelestarian lingkungan hidup; (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap 

bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh 

Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948; (3) Masalah HAM secara khusus 

kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima 

bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan 

politis. 

Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan 

partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat 

universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham Partikularisme

memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai 

dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan 

memiliki ukuran dan kriteria tersendiri. 

Ketiga, ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang 

melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut 

ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam 

kaitannya dengan hak-hak Kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait 

dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat 

partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental. 

Pandangan bangsa Indonesia tentang HAM dapat ditinjau dapat dilacak dalam 

Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undangundang. HAM dalam Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian 

lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas 

Kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); 

Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); 

Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); 

Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 

2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam 

UUD 1945, antara lain: Pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, 

sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebutsebut adalah hak-hak Warga Negara. Kedua, mengingat UUD 1945 tidak mengatur 

ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun 

mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada 

DPR dan Presiden. 

Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang 

Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia 

terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia. 

Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, 

terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta 

pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi 

Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal. 

Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain: 

a. Hak untuk hidup 

b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 

c. Hak mengembangkan diri  

d. Hak keadilan 

e. Hak kemerdekaan 

f. Hak atas kebebasan informasi 

g. Hak keamanan 

h. Hak kesejahteraan 

i. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara 

j. Hak perlindungan dan pemajuan. 

Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini 

merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 

1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 

Perserikatan Bangsa-Bangsa 





3. Pancasila dan Krisis Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orde Baru ternyata tidak 

berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik 

antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi. 

Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian 

menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak 

hanya ekonomi. 

Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsipprinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak-merataan ekonomi, dan lain-lain. yang 

juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh 

para penyelenggara negara




Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta 

konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem 

Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi 

Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar 

materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki unsur jiwa-raga, sebagai 

makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian 

tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, 

kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan 

menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran individu.




 

Sistem ekonomi Pancasila dibangun di atas landasan konstitusional UUD 1945, 

pasal 33 yang mengandung ajaran bahwa (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa 

digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2) Seluruh 

warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak 

membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial; (3) Seluruh pelaku 

ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah selalu bersemangat nasionalistik, 

yaitu dalam setiap putusan-putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujud-nya 

perekonomian nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan bekerja secara 

kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga masyarakat. Demokrasi ekonomi 

atau ekonomi kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam 

permusyawaratan perwakilan; (5) Perekonomian nasional yang amat luas terusmenerus diupayakan adanya keseimbangan antara perencanaan nasional dengan 

peningkatan desentralisasi serta otonomi daerah. hanya melalui partisipasi daerah 

secara aktif aturan main keadilan ekonomi dapat berjalan selanjutnya menghasilkan 

suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

CARA DAFTAR KIP KULIAH

Penagih hutang tewas dicekek nasabahnya dibekasi, pelaku ditangkap

"Sri Mulyani Pastikan Gaji ke-13 dan 14 PNS Tetap Cair di 2025, Isu Penghapusan Dibantah"