PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA
BAB II
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA
A. Pentingnya Pendidikan Pancasila
Seluruh Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari,
mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang dapat dihubungkan dengan
tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan
deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial.
1. Pengetahuan deskriptif menjawab pertanyaan “bagaimana” sehingga bersifat
mendiskripsikan.
2. Pengetahuan kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah “mengapa”,
sehingga mengenai sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa: kausa
materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa
efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
3. Pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah “kemana”.
4. Pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan “apa”, (apa
sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui
hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan
pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau
secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan
tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan
pada sekolah menengah.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk
memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila.
Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati dan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai Warga
Negara Indonesia, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah
dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan
pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
B. Pancasila sebagai Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek,
bermetode, bersistem, dan bersifat universal. Berobyek terbagi dua yakni objek material
dan obyek formal. Obyek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga
pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk
diselidiki. Sedangkan obyek formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest, point
of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang
bersangkutan.
Bermetode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang
logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem bermakna
memiliki kebulatan dan keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang
yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan
keseluruhan. Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat obyektif, dalam arti bahwa
penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju
atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila
memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat
dipelajari secara ilmiah.
Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga
memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan
hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai obyek studi ilmiah, yakni pendekatan yang
dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu
penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan
dengan segala uraian yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada
bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala
yang diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah
terhadap Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional, dan
pendekatan filosofis
.
C. Asal Mula Pancasila
1. Teori Asal Mula Pancasila
Teori asal mula Pancasila dasar filsafat negara dibedakan:
a. Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri,
terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
b. Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila
itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
9
c. Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari
calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula
karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian
mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah
melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
d. Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan
Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada
kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara
formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki
unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah
bangsaIndonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat,
tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya
misalnya:
a. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, buktibuktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan
hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan
sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan
kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan
sesama manusia, bukti-buktinya misalnya: bangunan padepokan, pondok-pondok,
semboyan aja dumeh, aja adigang-adigung-adiguna, aja kementhus, aja kemaki,
aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin
Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras,
Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan
sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan
kemanusiaan; semua mengindikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
c. Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan,
sebagai bukti-buktinya misalnya: bangunan candi Borobudur, candi Prambanan,
dan sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi
Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit,
semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe
senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan
mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumahrumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan
adanya sifat persatuan.
d. Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya
misalnya: bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk
musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di
Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro
Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai,
dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
e. Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia
dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil
terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa,
sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja
Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya,
penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baikbaik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang
baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak
boleh terputus satu dengan yang lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh
dari luar yang menyebabkan diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret
dengan nilai budaya.
2. Asal Mula Pancasila Secara Formal
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini memungkinkan
bangsaIndonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk
merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di
Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal
29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17
Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar
negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut
untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan
yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah
(pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Jakarta
Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka
sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini
ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945
menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut dengan
piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga
panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia
perancang Hukum Dasar yakni: (1) Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir.
Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang; (2) Panitia Pembela Tanah Air dengan
ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang; (3) Panitia ekonomi dan
keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil
Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam
rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia
Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus
1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan
menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945
sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan
Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16
Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat
Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas
badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
a. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada
tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli
1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.
c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta.
d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan
Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah
propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga
tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di
antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus
1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan
Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini, maka
PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinanpimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok.
a. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan
sebagai dasar negara Republik Indonesia.
b. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya
dengan Proklamasi Kemerdekaan.
c. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum
berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
a. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam
pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
b. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai
usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
c. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia
Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
d. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil
kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
e. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan
pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
f. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950
tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
g. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya
berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).
D. Fungsi dan Kedudukan Pancasila
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu
memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun
juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam
fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur
negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang
merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara
Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai
dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa
Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan
secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai
dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut
terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di
mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasalpasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan lainnya,
seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain
sebagainya.
2. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup
adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan
rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk
mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara
dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa
adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh
suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di
dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang
dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan
bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hidup yang diyakini kebenarannya
tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila
tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut
sebagai cita-cita moral bangsaIndonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian
memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga
sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama
bangsaIndonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila
merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah
seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
E. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
1. Hubungan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: bahwa
rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945; bahwa Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan
berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD 1945 juga sebagai suatu yang bereksistensi
sendiri karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada
batang tubuh UUD 1945, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti
Pembukaan UUD 1945 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap,
tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
Hubungan secara material antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: Proses
Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru
kemudian membahas Pembukaan UUD 1945; sidang berikutnya tersusun
Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD 1945.
2. Kedudukan Hakiki Pembukaan UUD’45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada Proklamasi 17
Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material.
Adapun kedudukan hakiki Pembukaan UUD 1945 adalah:
a. Pembukaaan UUD 1945 memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan
kemerdekaan yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan
padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam
Pembukaan UUD 1945.
b. Pembukaan UUD 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan
tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan UUD 1945 merupakan
pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat
Indonesia yang luhur.
c. Pembukaan UUD 1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu
tujuan negara, bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang
pembentukan UUD.
d. Pembukaan UUD 1945 mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat,
hukum Tuhan dan adanya hukum etis atau hukum moral. Di dalam Pembukaan
UUD 1945 terdapat unsur-unsur, bentuk-bentuk maupun sifat-sifat yang memungkinkan tertib hukum negara Indonesia mengenal adanya hukum-hukum
tersebut. Semua unsur hukum itu merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi
negara dan hukum positif Indonesia (Suhadi, 1998).
F. Pelaksanaan Pancasila
1. Pemikiran dan Pelaksanaan Pancasila
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksanaan Pancasila
terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan
prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus
konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus
mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat
digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985)
menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran
politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Notonagoro (1974)
menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas
permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut
meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah
apakah Pancasila itu subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di
dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang
perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas
permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik
kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa,
Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan
kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai
Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan
tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil
keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang
hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur
politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu
memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis,
yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, teologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan
keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga
kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan
korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis
berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan.
Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan
merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap
pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan,
sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau
tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila
dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif,
yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai
Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif,
artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap Warga Negara, setiap individu, setiap
penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro (1974)
pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena
sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan
subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses
pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran,
ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai
oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para
penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap
mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang
kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai dasar Negara membawa implikasi
wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai
sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif
membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi
dari hati nurani atau masyarakat.
2. Reformasi Pemikiran dan Pelaksanaan Pancasila
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali keadaan yang
tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang disalahartikan sebagai
suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”, penjarahan atau
“pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan
agar orang tidak salah mengartikan reformasi, antara lain sebagai berikut.
a. Reformasi bukan revolusi
b. Reformasi memerlukan proses
c. Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan
d. Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural
e. Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
f. Reformasi memerlukan arah.
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara lain:
Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum,
ekonomi dan politik; Kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai; Ketiga,
bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik
dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap tatanan
kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam
dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi, agenda yang mendesak
untuk segera direalisasikan antara lain: mengatasi krisis, melaksanakan reformasi, dan
melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut
dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk
dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan euforia
reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan, antara lain:
Pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional yang tersisa dan
diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak. Keyakinan
ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara
historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi
etnis, geografis, maupun agama. Kedua, secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar
Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh
argumentasi bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut
mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok
pikiran Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak satunya
antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan
reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu kesatuan antara pemikiran dan
pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila
sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila
dijadikan mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak
sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting bagi
upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan
pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih konkret. Kedua,
mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi
kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan
subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan
egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran
pluralisme, baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik kenegaraan dan
dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara
lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau
perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan
rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar
dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di
luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan
tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum
mendesak untuk diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan
mengoptimalkan lembaga judicial review yang memiliki independensi untuk menguji
secara substansial dan prosedural suatu produk hukum. Kedua, Kelemahan yang
terletak pada para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan
menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik tajam di era reformasi, sehingga
keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap MPR No.
II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran tentang sosialisasi Pancasila itu
antara lain: menghindari jargon-jargon yang tidak berakar dari realitas konkret dan
hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti, sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian
Pancasila”, slogan bahwa masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal
ika, padahal dalam kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur,
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari
pemaknaan Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada
pemaknaan yang lebih operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai
kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan Negara Indonesia harus mengesakan
Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil dan beradab, mempersatukan
Indonesia, memimpin rakyat dengan hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses
permusyawaratan perwakilan, menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sosialisasi diharapkan juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan
bangsa, bukan membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran
P-4, sehingga sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif.
G. Pancasila dan Permasalahan Aktual
1. Pancasila dan Permasalahan Sara
Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal
misalnya antara si kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara
mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara itu konflik horisontal
ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama, antar suku, atar ras, antar golongan
dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku,
agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang
sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan
sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi
bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas,
heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang
mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila
secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia”. Kedua, Penjelasan UUD 1945
tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok pikiran pertama.
Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hak-hak
menjadi Warga Negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam
penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah,
(2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan
penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan
Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat
disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat
menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas
pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain. Justru pluralitas itu
merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran
dalam rangka menyelesaikan masalah Sara ini antara lain: Pertama, Pancasila
merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba
merangkumnya dalam satu wadah ke-Indonesiaan. Kesatuan tidak boleh
menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan
persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan
perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau
perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi.
Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai
keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh
masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan
sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan
kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat
2. Pancasila dan Permasalahan HAM
Hak Asasi Manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah hak yang melekat
pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya
manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma
yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara
langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, 1995).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga
masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain:
Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena: (1) topik
HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan
dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan
pelestarian lingkungan hidup; (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap
bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh
Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948; (3) Masalah HAM secara khusus
kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima
bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan
politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan
partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat
universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham Partikularisme
memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai
dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan
memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang
melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut
ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam
kaitannya dengan hak-hak Kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait
dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat
partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang HAM dapat ditinjau dapat dilacak dalam
Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undangundang. HAM dalam Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian
lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas
Kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2);
Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28);
Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat
2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam
UUD 1945, antara lain: Pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948,
sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebutsebut adalah hak-hak Warga Negara. Kedua, mengingat UUD 1945 tidak mengatur
ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun
mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada
DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia
terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia,
terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta
pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi
Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal.
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
c. Hak mengembangkan diri
d. Hak keadilan
e. Hak kemerdekaan
f. Hak atas kebebasan informasi
g. Hak keamanan
h. Hak kesejahteraan
i. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
j. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini
merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD
1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa
3. Pancasila dan Krisis Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orde Baru ternyata tidak
berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik
antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi.
Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian
menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak
hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsipprinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak-merataan ekonomi, dan lain-lain. yang
juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh
para penyelenggara negara
.
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta
konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem
Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi
Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar
materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki unsur jiwa-raga, sebagai
makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian
tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung tinggi kebersamaan,
kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan
menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran individu.
Sistem ekonomi Pancasila dibangun di atas landasan konstitusional UUD 1945,
pasal 33 yang mengandung ajaran bahwa (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa
digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2) Seluruh
warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak
membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial; (3) Seluruh pelaku
ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah selalu bersemangat nasionalistik,
yaitu dalam setiap putusan-putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujud-nya
perekonomian nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan bekerja secara
kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga masyarakat. Demokrasi ekonomi
atau ekonomi kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan; (5) Perekonomian nasional yang amat luas terusmenerus diupayakan adanya keseimbangan antara perencanaan nasional dengan
peningkatan desentralisasi serta otonomi daerah. hanya melalui partisipasi daerah
secara aktif aturan main keadilan ekonomi dapat berjalan selanjutnya menghasilkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Comments
Post a Comment